Pages

Cari Blog Ini

Minggu, 08 Januari 2012

REFARAT EKTIMA

  1. PENDAHULUAN
Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, atau keduanya. Ektima merupakan infeksi pioderma pada kulit dengan karakteristik berbentuk krusta disertai ulserasi. Faktor predisposisi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini adalah sanitasi buruk, menurunnya daya tahan tubuh, serta adanya riwayat penyakit kulit sebelumnya.(1)
Insiden ektima di seluruh dunia tepatnya tidak diketahui. Frekuensi terjadinya ektima berdasarkan umur  terdapat pada anak-anak, dewasa muda dan orang tua, tidak ada perbedaan ras dan jenis kelamin (pria dan wanita sama). (1,2)
  1. Description: http://www.artikelkedokteran.com/wp-content/uploads/2011/11/actinomycosis-300x190.jpgI. PENDAHULUAN
Aktinomikosis merupakan infeksi kronik yang ditandai oleh adanya lesi kulit bergranul dan supuratif yang disebabkan oleh bakteri endogen gram-positif berfilamen. Aktinomikosis terutama disebabkan oleh Actinomyces israelii, bakteri anaerob yang normalnya berada pada enamel gigi, gusi, tonsil, dan lapisan membran intestinal, serta vagina. Lokasi infeksi biasanya terdapat pada wajah, leher, thoraks, dan abdomen. Pada wanita dapat terjadi infeksi pada pelvik. Infeksi sering terjadi di daerah tropis dan memiliki karakteristik sebagai infeksi supuratif yang progresif dan bersifat kronik serta terdapat pembentukan abses  multipel dan traktus sinus yang akan mengeluarkan granul sulfur. 1-4
Aktinomikosis dapat terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi tertinggi pada daerah dengan sosio-ekonomi rendah dan higienitas yang buruk. Tidak ada perbedaan ras dalam predileksi terjadinya aktinomikosis. Insidens aktinomikosis tiga kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan. Aktinomikosis dapat menyerang semua usia, namun banyak kasus yang dilaporkan terjadi pada usia dewasa hingga usia pertengahan, yaitu 20-50 tahun.2,5
  1. II. DEFINISI
Aktinomikosis adalah suatu penyakit infeksi kronik, supuratif dan bergranul, yang terutama disebabkan oleh Actinomyces israelii. Actinomyces spp. merupakan bakteri prokaryotik tingkat tinggi yang merupakan family Actinomyceataceae. Bakteri ini pertama kali ditemukan pada awal abad ke-19 dan sering salah diklasifikasikan sebagai fungi. Kata “actinomycosis” berasal dari bahasa Yunani, actino berarti gambaran radiasi yang terlihat dari granul sulfur dan mycos menggambarkan suatu kondisi pada penyakit mikosis.5
  1. III. EPIDEMIOLOGI
Aktinomikosis merupakan infeksi dengan distribusi yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat, penyakit ini sering terjadi pada lelaki. Insiden penyakit ini sukar diprediksikan karena bukan merupakan penyakit yang sering dilaporkan. Aktinomikosis dapat terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi tertinggi pada daerah dengan sosio-ekonomi rendah dan higienitas yang buruk. Tidak ada perbedaan ras dalam predileksi terjadinya aktinomikosis. Insidens aktinomikosis tiga kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan. Aktinomikosis dapat menyerang semua usia, namun banyak kasus yang dilaporkan terjadi pada usia dewasa hingga usia pertengahan, yaitu 20-50 tahun.2,7
50-60% dari semua kasus aktinomikosis adalah aktinomikosis servikofasial, 20% dari semua kasus aktinomikosis adalah aktinomikosis abdomino-pelvis dan 15% dari semua kasus aktinomikosis adalah aktinomikosis pulmonar. Aktinomikosis yang melibatkan organ lain seperti sistem saraf pusat, jantung, mata adalah sangat jarang.5
  1. IV. ETIOLOGI
Agen yang sering menyebabkan aktinomikosis adalah Actinomyces israelii dan A. gerencseries. Terdapat empat spesies Actinomyces yang lain (A. viscosus, A. odontolyticus dan A.meyeri), Propionibacterium propionum dan Bifidobacterium dentium (A. erisonii) mungkin juga mempunyai gejala klinis yang hampir sama.7
Etiologi pada human actinomycoses tidak dimiliki oleh satu spesis, tetapi dimiliki oleh beberapa anggota yang berbeda dari genus Actinomyces, Propionibacterium dan Bifidobacterium. Namun secara esensialnya, pada aktinomisit patogenik, semua lesi aktinomikotik yang tipikal mengandung antara 1 hingga 10 spesies bakteri. Bakteri ini berperan sebagai patogen sinergis yang menguatkan aktinomisit dan bertanggung jawab pada gejala awal penyakit dan kegagalan terapi.7
  1. V. PATOFISIOLOGI
Actinomycetes merupakan flora normal yang menonjol pada saluran mulut tetapi tidak menonjol pada saluran gastrointestinal bawah dan saluran genitalia wanita. Karena mikroorganisme tersebut tidak virulen, mikroorganisme tersebut membutuhkan perpecahan atau kerusakan membran mukosa dan kemunculan jaringan yang rusak untuk menyerang struktur tubuh yang lebih dalam dan menyebabkan penyakit pada manusia.2
Aktinomikosis biasanya merupakan infeksi polimikrobial, dengan jumlah bakteri yang terisolasi sebanyak 5-10 spesies bakteri. Terjadinya infeksi pada manusia membutuhkan keterlibatan bakteri lain, yang berpartisipasi dalam pembentukan infeksi dengan pengeluaran toksin atau enzim atau dengan menghambat pertahanan lokal tubuh. Kumpulan bakteri tersebut bekerja sebagai copathogen yang meningkatkan invasi Actinomycetes. Secara spesifik, bakteri tersebut berperan dalam manifestasi awal dari aktinomikosis dan penyebab kegagalan terapi. Ketika infeksi terjadi, sebagai pertahanan lokal terbentuk respon inflamasi yang hebat, yang bersifat supuratif dan bergranul, serta disusul terbentuknya fibrosis. Infeksi secara khas menyebar berdampingan, dan menyerang jaringan atau organ sekitar. Akhirnya infeksi akan menyebabkan terbentuknya sinus sebagai tempat pengeluaran pus. Penyebaran hematogen ke organ yang jauh dapat terjadi pada beberapa tingkatan aktinomikosis, sedangkan penyebaran limfatogen jarang terjadi.2
Tergantung pada tempat infeksinya, sebagian besar kasus aktinomikosis
juga disebabkan oleh berbagai mikroorganisme lainnya selain Actinomyces spp. Pada hasil kultur, telah diisolasi Acinobacillus actinomycetesmcomitans, Eikenella corrodens, Enterobacteriaceace, dan spesies Fusobacterium, Bacteroides, Capnocytophagia, Staphylococci, dan Streptococci. Mikroorganisme tersebut ditemukan bersamaan dengan Actinomyces spp dalam berbagai kombinasi. Rata-rata dua sampai empat dan terkadang sampai 10 spesies biasanya ditemukan dengan Actinomycetes. Peranan bakteri tersebut dalam patogenesis aktinomikosis tidak jelas. Bakteri tersebut umumnya dianggap sebagai nonpatogenik dalam kasus aktinomikosis, dengan kemungkinan bahwa penyakit aktinomikosis disebabkan oleh infeksi polimikrobial di mana Actinomyces spp. tetap mendominasi. Ada kemungkinan bahwa organisme lain meningkatkan patogenisitas aktinomisetes dengan menciptakan suasana anaerob di mana Actinomyces dapat tumbuh subur. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen di jaringan dan inhibisi fagosit yang diinduksi suasana anaerob.5
Sebuah tahap penting dalam perkembangan aktinomikosis adalah gangguan pertahanan mukosa, yang memungkinkan mikroorganisme menyerang. Pada aktinomikosis servikofasial, gangguan pertahanan mukosa dapat berasal dari sepsis di gigi. Infeksi sering terjadi pada pasien dengan kebersihan mulut yang buruk, atau setelah operasi. 2,5
Pada aktinomikosis abdominal, infeksi biasanya terjadi pada pasien dengan riwayat operasi usus (misalnya pada perforasi apendisitis akut, divertikulitis, trauma abdomen), atau masuknya benda asing (misalnya: tulang ikan atau tulang ayam). Aktinomikosis pelvik dapat disebabkan dari penggunaan alat IUD (intra-uterine devices). 2,5
Aktinomikosis pulmonar dapat disebabkan oleh masuknya sekresi orofaringeal atau saluran pencernaan yang mengandung aktinomisetes ke dalam saluran pernapasan. Kebersihan mulut yang buruk dan penyakit gigi terkait dapat meningkatkan risiko. Aktinomikosis pulmonar dapat diawali ketika saliva atau material lain yang mengandung Actinomyces spp. masuk ke dalam bronkus menyebabkan atelektasis dan penumonitis. Saat terjadi bentuk awal inflamasi akut akan diikuti dengan karakteristik kronik, yaitu fase indolent menghasilkan nekrosis lokal, fibrosis dan kavitas. Jika  tidak dicegah, infeksi tersebut akan meluas ke pleura, dinding thoraks, struktur tulang, dan jaringan lunak sekitar, serta pembentukan sinus yang dapat mengeluarkan granul sulfur.2,5
VI. GEJALA KLINIS

Aktinomikosis merupakan penyakit bakteri subakut hingga kronik yang supuratif, membentuk saluran sinus yang mengeluarkan cairan berbentuk granul sulfur. Aktinomikosis dapat memberikan efek pada semua organ dan jaringan pada tubuh. Terdapat lima tipe klinis utama yang dapat dikenali, tergantung dari tempat infeksinya yaitu aktinomikosis servikofasial, aktinomikosis thorakal, aktinomikosis abdominal, aktinomikosis pelvik dan aktinomikosis kutaneus primer.2,7,8
Aktinomikosis servikofasial dapat berbentuk pembengkakan yang kecil dan keras yang berkembang di dalam mulut, wajah, leher, dan rahang. Pembengkakan ini akan menjadi lunak dan mengeluarkan pus yang mengandung granul sulfur. Pasien juga akan mengeluh nyeri, pruritus dan trismus. Pada aktinomikosis thorakal, didapatkan gejala demam, berat badan menurun, batuk dan nyeri dada. Pada aktinomikosis abdominal dan pelvik, biasanya ditemukan teraba massa dan nyeri tekan pada bagian kuadran kanan bawah abdomen, keluar cairan dari vagina, penurunan berat badan dan juga demam. Pada aktinomikosis kutaneus primer dapat ditemukan gejala klinis seperti lesi berbentuk nodus, saluran sinus dan fistel pada bagian yang terinfeksi.3,4,9,13,17
  1. Aktinomikosis servikofasial
Aktinomikosis servikofasialis merupakan tipe paling sering terjadi dan ditemukan dalam 50% dari kasus aktinomikosis.Faktor resiko pencetusnya adalah kebersihan mulut yang buruk yang menyebabkan terjadinya abses periodontal atau keroposan gigi, trauma orofasial, benda asing yang mempenetrasi tepi mukosa seperti tulang ikan.2,8,10
Infeksi yang terjadi pada ekstraksi gigi atau trauma mulut menimbulkan rasa nyeri, indurasi dan pembengkakan yang berwarna merah pudar (dull-red) pada jaringan lunak pada daerah lesi. Massa inflamasi berada pada regio mandibula.6 Selain itu, pasien juga mengeluh sering gatal dan trismus.7,8,9
Setelah beberapa minggu hingga bulan, bagian yang terinfeksi akan berubah warna menjadi warna kebiruan (bruish discoloration). Massa menjadi lebih fluktuasi dan membentuk  saluran sinus pada extra atau intraoral. Selain itu, dapat juga terjadi edema, pembengkakan jaringan lunak dan pembentukan abses disertai gejala umum seperti demam dan penurunan berat badan pada pasien.4,7
Aktinomikosis servikofasial juga dapat menyebar ke daerah lidah, sinus, selaput otak, regio kranial dan pembuluh darah jika tidak diterapi. Pada tipe ini, tidak terdapat penyebaran melalui kelenjar limfe.2,3,7,12

Aktinomikosis thorakal
Infeksi thorakal terjadi pada 15-20% kasus aktinomikosis dan dapat melibatkan paru-paru, dinding dada atau kedua-duanya. Aktinomikosis tipe ini sering terjadi pada penderita dengan struktur gigi yang buruk dan mempunyai gejala yang tidak spesifik seperti penurunan berat badan, nyeri dada, batuk dan demam. Gejala klinis dan radiologi yang dimiliki mirip dengan malignansi TB. Apabila bakteri dari paru-paru menyebar ke kulit, dapat ditemukan beberapa saluran sinus pada kulit bagian thoraks. Infeksi juga dapat menyebar ke tulang iga dan membentuk osteomielitis.3,4,8,9,11
Aktinomikosis abdominal
Aktinomikosis abdominal meliputi 20% dari kasus aktinomikosis dan paling sering terjadi di regio iliosekal, namun bagian primer yang terinfeksi adalah esofagus, lambung dan anorektal. Pada aktinomikosis tipe ini, organ yang paling sering terkena infeksi adalah apendiks, diikuti kolon, lambung dan hepar. Penderita yang terkena aktinomikosis tipe ini sering bermanifestasi seperti gejala apendisitis yaitu demam, teraba massa dan nyeri tekan pada bagian kuadran kanan bawah abdomen serta leukositosis.2,8,6,11,12,18
Pada pemeriksaan CT-Scan dapat ditemukan massa atau pembesaran kelenjar lunak pada organ yang terinfeksi. Namun, diagnosis dapat dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi untuk membedakan penyakit ini dengan neoplasma atau infeksi lain. Massa pada lesi diambil menggunakan tekhnik aspirasi jarum halus. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan granul sulfur dengan pewarnaan Giemsa.18
Lesi yang terinfeksi juga dapat membentuk sinus ke pelvis atau fistel in ano. Penyebaran organisme ini ke hepar dapat menyebabkan gejala ikterus dan terbentuk massa intrahepatik atau abses hepar yang multipel dan menyerupai neoplasma. Organisme ini juga dapat menyebar ke ovarium, ginjal, kandung kemih atau tulang belakang. Pada keadaan kronik, dapat terbentuk saluran yang menyambung langsung ke kulit dan menjadi saluran sinus yang purulen.2,7,8,11,12
  1. Aktinomikosis pelvis
Aktinomikosis pelvis sering terjadi pada penggunaan IUD jangka lama, prolaps uteri dan aborsi septik. Pada tipe ini, gejala klinis yang sering muncul adalah keluarnya cairan dari vagina, pembengkakan lokal, pembentukan abses, massa tuba-ovari dan terjadinya penyakit infeksi pelvis dengan gejala kaku pada pelvis dan mirip keganasan. Penyakit ini umumnya tidak memberikan manifestasi pada kulit.  Selain itu, terdapat juga gejala yang tidak spesifik seperti nyeri pada bagian bawah abdomen, demam dan perdarahan vaginal di luar siklus menstrual.3,8,9,11
Pasien pengguna IUD dengan gejala inflamasi pada pelvis dapat dicurigai adanya infeksi Actinomyces aktif. Sebuah studi melaporkan bahwa A. israelii menginfeksi rata-rata 1,6%–11,6% pengguna IUD di seluruh dunia. Penggunaan IUD jangka panjang melebih 5 tahun merupakan faktor resiko terjadinya infeksi. Pada pemakaian IUD dapat terjadi inflamasi ringan yang menyebabkan perubahan dan nekrosis pada endometrium. Proses ini akan mencetuskan terbentuknya keadaan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan Actinomyces israelii dan bakteri anaerob yang lainnya.11,17
  1. Aktinomikosis kutaneus primer.
Aktinomikosis kutaneus primer merupakan tipe aktinomikosis yang paling jarang terjadi dan lebih sering terkena pada kulit yang terpapar. Penyakit ini sering disebabkan oleh faktor trauma seperti luka tusukan, fraktur, ekstraksi gigi dan injeksi terkontaminasi atau gigitan serangga yang membentuk lesi pada kulit. Infeksi oleh organisme ini terjadi melalui implantasi ke jaringan anaerob.3,14,17
Setelah beberapa waktu setelah infeksi, akan terbentuk nodul subkutaneus yang eritema. Nodul ini menyebar secara perlahan dan membentuk sinus yang mengeluarkan pus purulen berbentuk granul yang mudah menyebar ke organ di sekitarnya. Lesi nodular yang membentuk sinus pada tipe ini harus dibedakan dengan gejala klinis dari penyakik infeksi kronis kulit yang lain seperti tuberkulosis kutaneus, sporotrikosis dan nokardiosis.8,15
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan histopatologi menunjukkan granul sulfur yang merupakan penanda untuk aktinomikosis, leukosit polimorfonuklear dengan keratosis epidermis dan infiltrasi dermis. Untuk membedakan dengan sporotrikosis, pada pemeriksaan ditemukan sel polimorfonuklear, eosinofil, dan makrofag pada dinding lesi. Sedangkan pada tuberkulosis kutis didapatkan Mantoux test positif, dan bakteri tahan asam.8,19,20
Pada pembiakan kultur dari lesi yang dibiakkan akan ditemukan filamen Gram positif dan koloni aktinomises. Kultur ini menggunakan media anaerob seperti thioglycollate selama 14 hari. Sedangkan pada Sporotrikosis ditemukan pengelompokan konidia.8,20
Pada pemeriksaan darah tidak menunjukkan adanya proses inflamasi yang spesifik. Tetapi biasanya ada leukositosis, polimorfonuklear predominan, atau anemia normokrom.5
Pemeriksaan radiologi biasanya menggunakan plain x-ray, tapi tidak memberikan gambaran yang khas. Pada aktinomikosis torakal gambarannya menyerupai kelainan paru-paru yang lain. CT-Scan abdomen memberikan gambaran adanya fistula pada daerah perianal, untuk menegakkan diagnosis aktinomikosis abdominal.5,18
  1. VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis aktinomikosis sulit ditentukan hanya dari gejala klinik saja. Dibutuhkan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan histopatologi, maupun pemeriksaan kultur untuk menegakkan diagnosis aktinomikosis. Pada aktinomikosis servikofasialis, pasien datang dengan keluhan adanya fistula pada daerah kepala dan leher, tapi umumnya pada daerah perimandibular, disertai adanya edema, pembengkakan jaringan lunak, pembentukan abses serta gejala umum seperti demam dan penurunan berat badan. Periode inkubasi sekitar 2 bulan sampai 1 tahun. Pada pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya granuloma aktinomises, jaringan perifer bergranul dan berisi sel plasma, fibroblast, sel giant, dan pembuluh darah, dan keseluruhan membentuk infiltrat polimorfonuklear.3
Pada aktinomikosis thorakal, pasien datang dengan batuk, hemoptisis, keringat malam, dan penurunan  berat badan. Tidak ada perubahan pada kulit. Pasien mengalami nyeri dada dan demam yang berlangsung lama. Pada pemeriksaan sputum, ditemukan filamen aktinomises. Biasanya tampak granul sulfur dengan koloni sederhana. Pada pemeriksaan radiologi, dapat menyerupai kelainan paru-paru lain seperti infeksi maupun metastasis tumor. Pemeriksaan darah dapat menunjukkan leukositosis, polimorfonuklear dominan, dan anemia normokrom.5
Pada aktinomikosis abdominal, pasien datang dengan nyeri perut kronis, demam, muntah diare atau konstipasi, dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan darah tidak menunjukkan proses inflamasi yang spesifik yang berhubungan dengan keganasan, penyakit infeksi usus, maupun penyakit infeksi lain. CT-Scan abdomen merupakan modalitas yang dianjurkan. Pemeriksaan tersebut memberikan gambaran lesi massa yang padat. MRI juga merupakan modalitas lain yang memberikan gambaran adanya fistula pada daerah perianal. Sama dengan pemeriksaan histopatalogi aktinomikosis yang lain, memberikan gambaran adanya granul sulfur dari aktinomises.18
Pada aktinomikosis pelvik umumnya disebabkan karena penggunaan IUD yang lama. Gejalanya seperti nyeri abdomen atau nyeri pelvik, demam, penurunan berat badan, keluar cairan maupun darah dari vagina. Pemeriksaan kultur dari aspirasi abses dan apusan servikal memberikan karakteristik filamen gram positif dan adanya granul sulfur dengan pemberian metilen blue 1%. Anemia dan leukositosis dapat ditemukan pada pemeriksaan darah. Pada kasus yang berat, pemeriksaan radiologi (CT-Scan) memberikan gambaran sebuah proses keganasan sehingga harus dilakukan pembedahan kompleks.16
Aktinomikosis kutaneus memiliki gambaran nodul subkutaneus yang menyebar secara perlahan membentuk sinus, dapat mengenai kelenjar limfe. Pemeriksaan histopatologi dari biopsi jaringan menunjukkan leukosit polimorfonuklear dengan keratosis epidermis dan infiltrasi dermis.16,17,18
  1. IX. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding aktinomikosis tergantung dari tempat terjadinya. Aktinomikosis memiliki gejala yang cukup khas. Tetapi sebagai penyakit yang jarang, diagnosis tidak dapat ditegakkan dengan mudah. Aktinomikosis kadang sulit didiagnosis karena menyerupai Tuberkulosis dan penyakit noninfeksi seperti tumor ganas pada regio cervicofacial. Diagnosis ditegakkan dengan mengidentifikasi butiran-butiran di nanah dan pada pemeriksaan histologis. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan kultur.7,8,21
  1. Tuberkulosis Kutis
TBC kutis memiliki distribusi di seluruh dunia. Meskipun penyakit manusia dengan Mycobacterium tuberculosis dan M. bovis biasanya menyebar melalui droplet, dan masuk sering melalui saluran pernapasan, Tuberkulosis kutis juga dapat terjadi secara primer. Diagnosis banding dari tuberkulosis yang paling mendekati aktinomikosis adalah Tuberkulosis cutis colliquativa (skrofuloderma). Skrofuloderma adalah Tuberkulosis cutis yang dapat menyebabkan abses dan kerusakan kulit atasnya. Skrofuloderma dapat multibasiler maupun paucibasiler. Prevalensi tertinggi Skrofuloderma terjadi pada anak-anak, remaja dan usia lanjut.22,23
Skrofuloderma kebanyakan terjadi di regio parotis, submandibular, dan supraklavikular. Pertama kali terlihat sebagai nodul subcutaneous yang berbatas tegas, mobile, dan asimtomatik. Semakin membesar nodul tersebut, akan semakin lunak. Setelah beberapa bulan, pengeluaran cairan dengan perforasi akan muncul yang menyebabkan timbulnya ulkus dan sinus. Ulkus pada Skrofuloderma berbentuk sangat rusak, tepi kebiruan dan lunak, dan mempunyai lantai yang bergranula.20
Nekrosis masif dan abses pada tengah lesi tidaklah spesifik. Meskipun demikian, tepi abses atau batas dari sinus mengandung granula tuberkuloid untuk pemeriksaan histopatologis. Diagnosis biasanya dilakukan melalui aspirasi jarum halus, atau biosi eksisi dari masa dan tes bakteriologis melalui pewarnaan bakeri tahan asam (BTA). Apabila terdapat limfadenitis tuberkulosa atau kerusakan tulang dan sendi, diagnosis Skrofuloderma dapat ditegakkan dengan mudah. Hasil positif pada kultur dapat memastikan diagnosis.
Pendekatan terbaik untuk pengobatan kelainan seperti Skrofuloderma adalah obat anti tuberkulosis konvensional. Sementara individu yang pernah kontak dekat dengan pasien, seperti anggota keluarga, harus menjalani tes tuberkulin. Nodul yang terkena dapat disembuhkan dengan electrosurgery, cyrosurgery, dan kuretase dengan electrodessication. Terapi farmakologis tetap mengiringi sebagai pengobatan utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar